Makalah Ilmu Pendidikan : Demokrasi Pendidikan

Makalah Ilmu Pendidikan : Demokrasi Pendidikan

No Comments
BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG
Banyak indikator telah menunjukkan bahwa mutu pendidikan kita masih sedemikian memprihatinkan. Rendahnya rerata NEM yang dapat dicapai oleh siswa dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas memberi petunjuk betapa rendahnya mutu pendidikan terhadap penguasaan bahan ajar yang dapat diserap.
Kesenjangan yang bertingkat juga terjadi dan dirasakan oleh masing-masing jenjang seperti halnya sering dilansir kalangan Perguruan Tinggi yang merasa bahwa bekal kemampuan lulusan SMA masih dipandang kurang memadai, selanjutnya di kalangan guru-guru SMA dirasakan betapa rendahnya kemampuan lulusan SMP, demikian selanjutnya guru-guru SMP juga mengeluh betapa lemahnya kemampuan para lulusan SD. Belum lagi adanya 88,4% lulusan SMA tidak melanjutkan ke Perguruan Tinggi dan 34,4% lulusan SMP tidak dapat melanjutkan ke SMA (Balitbang Diknas, 2000). Hal ini tentunya juga berlanjut yakni betapa masih banyaknya lulusan SD yang tak dapat melanjutkan ke SMP.
“Keterpurukan pendidikan” kita juga akan tampak semakin jelas bila kita mengacu pada komparasi internasional, dimana diketahui betapa rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia sebagaimana yang dilaporkan oleh Human Development Index yakni Indonesia menduduki peringkat 102 dari 106 negara yang disurvai, satu peringkat di bawah Vietnam. Sementara itu hasil survai the Political Economic Risk Consultation (PERC) melaporkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke 12 dari 12 negara yang disurvai, juga satu peringkat di bawah Vietnam.
Ketika mutu pendidikan belum dapat teratasi, tantangan lain juga tengah muncul seperti angka putus sekolah sebagaimana yang telah disinggung di atas yang relatif tinggi, daya tampung sekolah yang masih sangat terbatas, angka pengangguran yang terus meningkat, lapangan kerja yang masih terbatas, dan seterusnya. Kesan-kesan sementara yang dapat ditangkap adalah bahwa pendidikan baru pantas dinikmati oleh sekelompok orang yang berduit. Kesan semacam ini tampak mencolok ketika sebuah sekolah dan perguruan tinggi favorit secara terbuka memberikan “kesempatan kepada siapapun” untuk menjadi siswa/mahasiswa sejauh mampu memberikan sejumlah dana yang ditawarkan. Sementara itu masyarakat awam tidak banyak memiliki infomasi tentang hak dan kriterianya untuk menuju kesana.

B. BATASAN MASALAH
1. Pengertian Demokrasi Pendidikan
2. Prinsip-prinsip Demokrasi dalam Pendidikan
3. Demokrasi Pendidikan di Indonesia
4. Prinsip-prinsip demokrasi dalam pandangan islam


BAB II
DEMOKRASI PENDIDIKAN


A. Pengertian Demokrasi Pendidikan
Pendidikan yang demokratik adalah pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama kepada setiap anak untuk mendapatkan pendidikan di sekolah sesuai dengan kemampuannya. Pengertian demokratik di sini mencakup arti baik secara horizontal maupun vertikal.
Maksud demokrasi secara horizontal adalah bahwa setiap anak, tidak ada kecualinya, mendapatkan kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan sekolah. Hal ini tercermin pada UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yaitu : “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Sementara itu, demokrasi secara vertikal ialah bahwa setiap anak mendapat kesempatan yang sama untuk mencapai tingkat pendidikan sekolah yang setinggi-tingginya sesuai dengan kemampuannya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, demokrasi diartikan sebagai gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Dalam pendidikan, demokrasi ditunjukkan dengan pemusatan perhatian serta usaha pada si anak didik dalam keadaan sewajarnya (intelegensi, kesehatan, keadaan sosial, dan sebagainya). Di kalangan Taman Siswa dianut sikap tutwuri handayani, suatu sikap demokratis yang mengakui hak si anak untuk tumbuh dan berkembang menurut kodratnya.
Dengan demikian, tampaknya demokrasi pendidikan merupakan pandangan hidup yang mengutarakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama di dalam berlangsungnya proses pendidikan antara pendidik dan anak didik, serta juga dengan pengelola pendidikan.
Sedangkan demokrasi pendidikan dalam pengertian yang luas mengandung tiga hal yaitu :
1. Rasa hormat terhadap harkat sesama manusia
Demokrasi pada prinsip ini dianggap sebagai pilar pertama untuk menjamin persaudaraan hak manusia dengan tidak memandang jenis kelamin, umur, warna kulit, agama dan bangsa. Dalam pendidikan, nilai-nilai inilah yang ditanamkan dengan memandang perbedaan antara satu dengan yang lainnya baik hubungan antara sesama peserta didik atau hubungan dengan gurunya yang saling menghargai dan menghormati.
2. Setiap manusia memiliki perubahan ke arah pikiran yang sehat
Dari prinsip inilah timbul pandangan bahwa manusia itu harus dididik, karena dengan pendidikan itu manusia akan berubah dan berkembang ke arah yang lebih sehat, baik dan sempurna. Oleh karena itu, sekolah sebagai lembaga pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kemampuan anak didik untuk berpikir dan memecahkan persoalan-persoalannya sendiri secara teratur, sistematis dan komprehensif serta kritis sehingga anak didik memiliki wawasan, kemampuan dan kesempatan yang luas.
3. Rela berbakti untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama
Dalam konteks ini, pengertian demokrasi tidaklah dibatasi oleh kepentingan individu-individu lain. Dengan kata lain, seseorang menjadi bebas karena orang lain menghormati kepentingannya. Oleh sebab itu, tidak ada seseorang yang karena kebebasannya berbuat sesuka hatinya sehingga merusak kebebasan orang lain atau kebebasannya sendiri.
Kesejahteraan dan kebahagiaan hanya tercapai bila setiap warga negara atau anggota masyarakat dapat mengembangkan tenaga atau pikirannya untuk memanjukan kepentingan bersama karena kebersamaan dan kerjasama inilah pilar penyangga demokrasi. Berkenaan dengan itulah maka bagi setiap warga negara diperlukan hal-hal sebagai berikut :
a. pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah kewarganegaraan (civic), ketatanegaraan, kemasyarakatan, soal-soal pemerintahan yang penting;
b. suatu keinsyafan dan kesanggupan semangat menjalankan tugasnya dengan mendahulukan kepentingan negara atau masyarakat daripada kepentingan sendiri;
c. suatu keinsyafan dan kesanggupan memberantas kecurangan-kecurangan dan perbuatan-perbuatan yang menghalangi kemajuan dan kemakmuran masyarakat dan pemerintah.

B. Prinsip-Prinsip Demokrasi Dalam Pendidikan
Dalam setiap pelaksanaan pendidikan selalu terkait dengan masalah-masalah antara lain :
1. Hak asasi setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan
2. Kesempatan yang sama bagi warga negara untuk memperoleh pendidikan
3. Hak dan kesempatan atas dasar kemampuan mereka
Dari prinsip-prinsip di atas dapat dipahami bahwa ide dan nilai demokrasi pendidikan itu sangat banyak dipengaruhi oleh alam pikiran, sifat dan jenis masyarakat dimana mereka berada, karena dalam realitasnya bahwa pengembangan demokrasi pendidikan itu akan banyak dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan dan penghidupan masyarakat. Misalnya masyarakat agraris akan berbeda dengan masyarakat metropolitan dan modern, dan sebagainya.
Apabila yang dikemukakan tersebut dikaitkan dengan prinsip-prinsip demokrasi pendidikan yang telah diungkapkan, tampaknya ada beberapa butir penting yang harus diketahui dan diperhatikan,diantaranya :
1. Keadilan dalam pemerataan kesempata belajar bagi semua warga negara dengan cara adanya pembuktian kesetiaan dan konsisten pada sistem politik yang ada;
2. Dalam upaya pembentukan karakter bangsa sebagai bangsa yang baik;
3. Memiliki suatu ikatan yang erat dengan cita-cita nasional.
Sedangkan pengembangan demokrasi pendidikan yang berorientasi pada cita-cita dan nilai demokrasi, akan selalu memperhatikan prinsip-prinsip berikut ini :
1. Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sesuai dengan nilai-nilai luhurnya
2. Wajib menghormati dan melindungi hak asasi manusia yang bermartabat dan berbudi pekerti luhur
3. Mengusahakan suatu pemenuhan hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran nasional dengan memanfaatkan kemampuan pribadinya, dalam rangka mengembangkan kreasinya ke arah perkembangan dan kemajuan iptek tanpa merugikan pihak lain.


C. Demokrasi Pendidikan di Indonesia
Demokrasi pendidikan merupakan proses buat memberikan jaminan dan kepastian adanya persamaan kesempatan buat mendapatkan pendidikan di dalam masyarakat tertentu.
Pelaksanaan demokrasi pendidikan di Indonesia pada dasarnya telah dikembangkan sedemikian rupa dengan menganut dan mengembangkan asas demokrasi dalam pendidikannya, terutama setelah diproklamirkannya kemerdekaan, hingga sekarang. Pelaksanaan tersebut telah diatur dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, seperti berikut ini:
1. Pasal 31 UUD 1945;
a. Ayat (1): Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.
b. Ayat (2): pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang.
Dengan demikian di negara Indonesia, semua warga negara diberikan kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan, yang penyelenggaraan pendidikannya diatur oleh satu undang-undang sistem pendidikan nasional, dalam hal ini tentu saja UU nomor 2 tahun 1989.
2. UU Nomor 2 tahun 1989 tentang sistem Pendidikan Nasional.
Menurut UU ini, cukup banyak dibicarakan tentang demokrasi pendidikan, terutama yang berkaitan dengan hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan, misalnya:
a. Pasal 5;
Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan.
b. Pasal 6;
Setiap warga negara berhak atas kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengikuti pendidikan agar memperoleh pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang sekurang-kurangnya setara dengan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan tamatan pendidikan dasar.
c. Pasal 7;
Penerimaan seseorang sebagai peserta didik dalam suatu satuan pendidikan diselenggarakan dengan tidak membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan sosial dan tingkat kemampuan ekonomi, dan dengan tetap mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang bersangkutan.
d. Pasal 8;
1. Warga negara yang memiliki kelainan fisik dan atau mental berhak memperoleh pendidikan luar biasa.
2. Warga negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa berhak memperoleh perhatian khusus.
3. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan (2) ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
3. Garis-garis Besar Haluan Negara di Sektor Pendidikan.
D. Prinsip-prinsip demokrasi dalam pandangan islam
Pada dasarnya, dasar-dasar demokrasi pendidikan menurut Islam memberikan kebebasan kepada individu (anak didik) untuk mengembangkan nilai-nilai fitrah yang ada pada dirinya untuk menyelaraskan dengan perkembangan zaman.
Sebagai acuan pemahaman demokrasi pendidikan dalam Islam, nampaknya tercermin pada beberapa hal sebagai berikut:
1. Islam mewajibkan manusia untuk menuntut ilmu.
Hadits Nabi Muhammad SAW yang artinya :
“Menuntut ilmu adalah wajib hukumnya bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.” (HR. Ibnu Majah)
Hadits tersebut mencerminkan bahwa di dalam Islam terdapat demokrasi pendidikan, dimana Islam tidak membedakan antara muslim laki-laki dan perempuan dalam hal kewajiban dan hak menuntut ilmu.
2. Adanya keharusan bertanya kepada ahli ilmu.
Didalam al Qur’an surat An Nahl ayat (43) Allah SWT berfirman:
“Dan Kami tidak mengutus kepada mereka, kecuali orang laki-laki yang kami berikan wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kamu nkepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan”. (Qs. An Nahl: 43).
Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa apabila pendidik dan anak didik dalam proses belajar dan dalam pemahaman ilmu-ilmu tersebut terdapat hal-hal yang kurang dipahami, maka perlu bertanya kepada yang ahli dalam bidang tersebut.


BAB III
PENUTUP


A. KESIMPULAN
Demokrasi pendidikan merupakan pandangan hidup yang mengutarakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama di dalam berlangsungnya proses pendidikan antara pendidik dan anak didik, serta juga dengan pengelolaan pendidikan tanpa memandang suku, kebangsaan, agama maupun ras. Juga tidak membedakan antara si kaya dan si miskin, karena setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
Demokratisasi pendidikan merupakan suatu kebijakan yang sangat didamba-kan oleh masyarakat. Melalui kebijakan tersebut diharapkan peluang masyarakat untuk menikmati pendidikan menjadi semakin lebar sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang dimiliki. Jurang pemisah antara kelompok terdidik dan belum terdidik menjadi semakin terhapus, sehingga informasi pembangunan tidak lagi menjadi hambatan. Ungkapan pendidikan untuk semua dan semuanya untuk pendidikan diharapkan bukan sekedar wacana tetapi sudah harus merupakan komitmen pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkannya.
Dengan demikian isu tentang besarnya putus sekolah, elitisme, ketidakterjangkauan dalam meraih pendidikan, dan seterusnya dapat terhapus dengan sendirinya.


B. SARAN
Semoga dengan tersusunnya makalah ini dapat memberikan gambaran dan menambah wawasan kita tentang Demokrasi Pendidikan di Indonesia. Dengan mengetahui demokrasi pendidikan kita akan menjadi manusia yang demokratis, baik dalam pendidikan dan hal-hal yang lainnya dalam penyelesaian masalah dengan demokratis.
Dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan kekeliruan untuk itu saran dan kritik dari para pembaca yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan penyusunan makalah di masa mendatang.


DAFTAR PUSTAKA
Hasbullah, Dasar-Dasat Ilmu Pendidikan, (PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2009).
Drs. Tanlain Wens, Mpd, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta,2002)
Drs. Wirojoedo Soebijanto, Teori Perencanaan Pendidikan, (Liberty: Yogyakarta).
Ihsan, Fuad. 2008. Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta
Prasetya, Tri. 2000. Filsafat Pendidikan. Bandung: CV Pustaka Setia
Sumber Dan Dasar Hukum Islam

Sumber Dan Dasar Hukum Islam

No Comments
Dasar Hukum yang Disepakati
Sumber hukum islam ada dua: al-Quran dan Hadis. Adapun dasar hukum islam kurang lebih ada sebelas: Dasar hukum yang disepakati ulama ada empat: al-Quran, Hadis, Ijma’ dan Qiyas. Dasar hukum yang tidak disepakati oleh ulama ada tujuh: Istihsan, Maslahah Mursalah, Urf (adat istiadat), Istishab, Syar’u Man Qablana, Madzhab Shohabi, Sadd az-Zariah.
Untuk memudahkan, lihat skema di bawah ini:

1. Al-Quran

Menurut bahasa al-Quran berarti “bacaan”, dan menurut ilmu Ushul Fiqih al-Quran adalah: “Firman Allah yang diturunkan oleh Allah dengan perantaraan malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad dengan bahasa arab dan terkategorikan beribadah jika membacanya”.


Al-Quran pertama kali diturunkan di Gua Hira (Makkah) pada tahun 611 M, dan berakhir di Madinah pada tahun 633 H (al-Quran turun selama kurun waktu 22 tahun beberapa bulan). Surat yang pertama kali turun adalah al-‘Alaq dan yang terakhir kali –terdapat perbedaan pendapat- menurut sebagian ulama adalah ayat 281 surat al-Baqarah.
Hukum-hukum yang terkandung dalam al-Quran mencakup tiga ajaran pokok:
1. Ajaran yang berkenaan dengan akidah (al-Ahkam al-I’tiqodiyyah), seperti Tawhid, malikat, hari akhir dll.
2. Ajaran yang berkenaan dengan akhlaq (al-Ahkam al-Khuluqiyyah), seperti tuntunan bergaul secara sopan, tutur kata yang baik dll.
3. Ajaran yang berkenaan dengan perbuatan (al-Ahkam al-‘Amaliyyah), seperti tuntunan kewajiban dan larangan berbuat sesuatu. Dari ajaran inilah kemudian timbul ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih.

Hukum Amaliah (fiqih) terdiri dari 2 cabang,
1. Hukum Ibadah; hukum yang mengatur hubungan antara hamba dengan Tuhannya, seperti sholat, puasa, haji dll.
2. Hukum Muamalah; hukum yang mengatur hubungan antara hamba dengan hamba, seperti jual beli, menikah, dll.

Abdul Wahab Kholaf memerinci macam ayat al-Quran yang berhubungan dengan hukum muamalah sebagai berikut:
1. Hukum Keluarga: seperti prosesi akad nikah, talak, ruju’, iddah warisan dll terdapat di dalam al-Quran –sekitar- 70 ayat.
2. Hukum Perdata: seperti utang piutang, perjanjian sewa menyewa jual beli dll terdapat di dalam al-Quran –sekitar- 70 ayat.
3. Hukum Pidana: seperti pembunuhan, perzinaan, pencurian, perampokan tindak kekerasan dll terdapat di dalam al-Quran –sekitar- 30 ayat.
4. Hukum Acara: seperti peradilan, kesaksian, sumpah, barang bukti dll terdapat di dalam al-Quran –sekitar- 13 ayat.
5. Hukum Ketata-Negaraan: ketentuan yang berhubungan dengan pemerintahan, seperti mengatur hak pribadi dan hak masyarakat dll, terdapat di dalam al-Quran –sekitar- 10 ayat.
6. Hukum Antar Bangsa: seperti hukum yang mengatur hubungan antara Negara Islam dan Negara non-Islam, tata cara pergaulan dengan non muslim dll, terdapat di dalam al-Quran –sekitar- 25 ayat.
7. Hukum Ekonomi dan Keuangan: seperti hak-hak faqir miskin, pembagian zakat dll, terdapat di dalam al-Quran –sekitar- 10 ayat.

Menurut Imam Ghozali, ayat-ayat al-Quran yang berkenaan dengan hukum amaliyah (fiqih) kurang lebih 500 ayat.

2. Al-Sunnah

Sunnah secara bahasa berarti “perilaku seseorang baik perilaku yang baik ataupun yang buruk”. Adapun menurut istilah, al-Sunah adalah: “segala perilaku Rasulullah yang berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan (qawliyyah), perbuatan (fi’liyyah) ataupun pengakuan (taqririyah)”.

Contoh:
1. Sunnah yang berupa ucapan (qawliyyah) Nabi Saw:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنْ لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ (رواه ابن ماجه)
“Dari Ubadah bin Samit sesungguhnya Rasulullah Saw memutuskan bahwa tidak boleh melakukan kemudaratan (kerusakan / bahaya) dan tidak boleh pula mendatangkan kemudaratan” (HR. Ibn Majah)

2. Sunnah yang berupa perbuatan (fi’liyyah) dari Nabi Saw:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَال أُصَلِّي كَمَا رَأَيْتُ أَصْحَابِي يُصَلُّونَ لَا أَنْهَى أَحَدًا يُصَلِّي بِلَيْلٍ وَلَا نَهَارٍ مَا شَاءَ غَيْرَ أَنْ لَا تَحَرَّوْا طُلُوعَ الشَّمْسِ وَلَا غُرُوبَهَا (رواه البخارى
“Dari Ibn Umar berkata, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: saya sholat seperti sahabat-sahabatku melaksanakan sholat, aku tidak melarang seseorang di antara mereka melakukan sholat baik siang maupun malam sesuai yang dikehendakinya kecuali mereka sengaja sholat pada saat terbit dan tenggelamnya matahari” (HR. Bukhari)

3. Sunnah yang berupa pengakuan (taqririyah) seperti:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ أَنَّ رَجُلَيْنِ تَيَمَّمَا وَصَلَّيَا ثُمَّ وَجَدَا مَاءً فِي الْوَقْتِ فَتَوَضَّأَ أَحَدُهُمَا وَعَادَ لِصَلَاتِهِ مَا كَانَ فِي الْوَقْتِ وَلَمْ يُعِدْ الْآخَرُ فَسَأَلَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يُعِدْ أَصَبْتَ السُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْكَ صَلَاتُكَ وَقَالَ لِلْآخَرِ أَمَّا أَنْتَ فَلَكَ مِثْلُ سَهْمِ جَمْعٍ (رواه النسائ
“Dari Abu Sa’id, sesungguhnya ada dua orang laki-laki yang bertayamum dan keduanya melaksanakan sholat, kemudian keduanya mendapatkan air pada saat -waktu sholat yang mereka kerjakan- belum habis maka salah seorang dari keduanya berwudlu dan mengulangi sholatnya karena waktu belum habis, sedangkan seseorang yang lain tidak melakukannya, maka keduanya brtanya kepada Nabi Saw dan beliau bersabda kepada orang yang tidak mengulang sholatnya: engkau telah melakukan sunnah dan telah cukup sholatmu itu. Dan kepada yang mengulangi sholatnya beliau bersabda: bagimu pahala dua kali lipat ganda” (HR. Nasai).

Dalam kajian Ushul Fiqih, Hadis dari segi sanadnya terbagi menjadi 2 macam: Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad.
1. Hadis Mutawatir; Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh sekelompok perawi (minimal 4 sahabat) yang menurut kebiasaan individu-individunya jauh dari kemungkinan berbuat bohong. Hadis mutawatir terbagi menjadi dua:
- Mutawatir Lafdzi: Hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang makna dan lafadznya sama. Misalnya Hadis tentang seseorang yang berbuat dusta atas diri nabi maka hendaknya ia mengambil tempat dineraka (HR.Muslim)
- Mutawatir Ma’nawi: Hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang maknanya sama namun lafadznya berbeda. Misalnya Hadis tentang nabi mengangkat tangan pada saat berdoa (HR. Tirmidzi)

2. Hadis Ahad; Hadis yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih (maximal 3 sahabat) dan tidak sampai ke batas Hadis mutawatir. Hadis ahad terbagi menjadi tiga:
- Hadis Masyhur: Hadis yang pada masa sahabat diriwayatkan oleh 3 orang perawi. Contoh Hadis tentang amal tergantung kepada niat (HR. Bukhori Muslim)
- Hadis ‘Aziz: Hadis yang pada masa sahabat diriwayatkan oleh 2 orang perawi. Contoh menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap orang islam (HR. al-Baihaqi)
- Hadis Ghorib: Hadis yang diriwayatkan oleh orang 1 orang perawi. Contoh belum sempurna iman seseorang sehingga ia lebih mencintai rasulullah melebihi cintanya kepada orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia (HR. Bukhori Muslim)

Fungsi Sunnah terhadap al-Quran adalah:
1. Menjelaskan isi al-Quran; ex.: Hadis yang menjelaskan tata cara sholat dll
2. Membuat aturan tambahan yang bersifat teknis, yang mana pokok-pokoknya telah disebutkan dalam al-Quran; ex.: Hadis yang menjelaskan suami istri yang li’an (sumpah empat kali dan yang kelima sumpah laknat Allah jika ia berdusta), maka keduanya telah bercerai selama-lamanya (HR.Ahmad dan Abu Daud)
3. Menetapkan hukum yang belum disinggung dalam al-Quran; keharaman binatang buruan yang mempunyai taring dan burung yang mempunyai cakar yang tajam (HR. An-Nasai)


3. Ijma’ (Konsensus Ulama)

A. Pengertian Ijma’
Kata ijma’ secara bahasa berarti kesepakatan tentang suatu masalah. Adapun ijma’ menurut istilah Ushul Fiqih adalah: “Kesepakatan para mujtahid tentang hukum syara’ (hukum Islam) pada suatu masalah dalam satu masa setelah Rasulullah Saw wafat”.
Kata ijma’ juga dapat diartikan sebagai konsensus mujtahid dalam menetapkan hukum pada suatu masalah. Apabila ada suatu peristiwa yang pada saat terjadinya diketahui oleh semua mujtahid, kemudian mereka sepakat memutuskan hukum atas peristiwa tersebut, maka kesepakatan mereka ini disebut ijma’.
Contoh; kesepakatan para sahabat yang melarang seorang laki-laki madu (poligami) dengan bibi istri dari jalur ayahnya ataupun ibunya. Begitu pula mereka sepakat bahwa saudara seayah dapat menempati posisi saudara sekandung jika saudara sekandung tidak ada. Keputusan hukum ini tidak ditemukan dalam al-Quran dan Hadis.

B. Dalil keabsahan ijma’

1. Berdasarkan al-Quran, antara lain dalam surat an-Nisa’ ayat 115:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang mukmin, Kami biarkan leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan kami masukkan ia ke dalam neraka jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”.
Argumentasi: dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa wajib hukumnya mengikuti jalan orang-orang mukmin, antara lain mengikuti kesepakatan mereka. Jika tidak maka ia akan diancam dengan neraka jahannam.

2. Berdasarkan Hadis Nabi, antara lain:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَجْمَعُ أُمَّتِي أَوْ قَالَ أُمَّةَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ضَلَالَةٍ وَيَدُ اللَّهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إِلَى النَّارِ
“Dari Ibnu Umar, Rasulullah Saw Bersabda: sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku, atau beliau berkata umat Muhammad, atas kesesatan ………..”. (HR. Tirmidzi).

Argumentasi: Rasulullah menjamin bahwa Allah tidak akan mengumpulkan umat Muhammad untuk bersepakat dalam hal kesesatan. Hal ini mengindikasikan bahwa apa yang telah mereka sepakati hendaknya dipatuhi. Sebab tidak mungkin mereka bersepakat dalam kesesatan.

C. Rukun Ijma’

Rukun Ijma’ ada 4 (empat):
1. Adanya beberapa pendapat yang kemudian mengerucut menjadi satu pendapat dalam masa tertentu
2. Adanya kesepakatan semua mujtahid terhadap keputusan hukum pada suatu masalah tanpa memandang kebangsaan, tempat ataupun kelompok mereka
3. Kesepakan itu nyata, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun pengakuan
4. Kesepakatan tersebut direalisasikan oleh semua ahli fiqih

D. Macam-macam Ijma’

* Ditinjau dari cara penetapannya, ijma’ terbagi menjadi 2 (dua):
1. Ijma’ Shorih; Para mujtahid sepakat atas suatu hukum terhadap suatu masalah dengan terlebih dahulu menyampaikan pendapatnya masing-masing, yang kemudian mengerucut menjadi satu pendapat.
2. Ijma’ sukuti; Sebagian mujtahid mengemukakan pendapat dan keputusan hukum dalam suatu masalah, dan sebagian lain diam tidak mengemukakan pendapatnya. Maka diamnya ini dapat diartikan sebagai tanda setuju.

* Ditinjau dari segi kekuatannya, ijma’ terbagi menjadi 2 (dua):
1. Ijma’ Qath’i; ijma’ yang betul-betul terjadi dan tidak ada kemungkinan lain yang menyangkalnya. Ijma’ ini terjadi di dalam ijma shorih.
2. Ijma’ Dzonni: Ijma’ yang masih ada kemungkinan penyangkalan atasnya.

E. Kedudukan Ijma’

Para ulama menetapkan bahwa Ijma menduduki peringkat ketiga setelah al-Quran dan Hadis Nabi. Namun demikian suatu ijma tidak boleh menyalahi Nash al-Quran dan Hadis yang bersifat qath’I (nash yang sudah jelas, gamblang dan tidak membutuhkan penafsiran).
Seluruh ulama sepakat bahwa “Ijma’ shorih” dapat dijadikan sebagai hujjah / dasar pijakan hukum.
Namun demikian mereka berbeda pendapat mengenahi “ijma’ sukuti”, apakah dapat dijadikan sebagai hujjah atau tidak?.
• Imam Syafi’i dan mayoritas ulama: tidak dapat dijadikan sebagai hujjah / dasar hukum.
Argumentasi pendapat ini antara lain:
- Orang yang diam tidak dapat dipandang sebagai orang yang telah mengemukakan pendapat.
- Diam tidak dapat dipandang sebagai tanda setuju. Sebab dalam diamnya terdapat banyak kemungkinan. Mungkin ia belum berijtihad, mungkin ia khawatir dengan pendapatnya dan kemungkinan-kemungkinan yang lain

• Madzhab Hanafiah: dapat dijadikan sebagai hujjah.
Argumentasi pendapat ini antara lain sbb:
- Memang pada dasarnya diam tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Namun jika diamnya tersebut setelah merenung, berfikir dan menganalisa maka diamnya tersebut adalah sikapnya, yakni diam yang berarti setuju
- Pada umunya tidak semua mujtahid memberi fatwa. Sebab biasanya sang pemberi fatwa hanya satu orang dan yang lain menyetujuinya.
- Jika seorang mujtahid diam terhadap pendapat mujtahid lain, sementara pendapat itu bertentangan dengan pendapatnya yang dianggap benar, maka haram ia berdiam diri tanpa ada penyangkalan.

• Sebagian ulama lain: dapat dijadikan sebagai hujjah namun tidak masuk dalam kategori ijma’.
Argumentasi:
- Ijma’ sukuti tidak terkategorikan ijma’ lantaran tidak memenuhi Kriteria ijma’. Meskipun demikian tidak setiap orang alim mau mengemukakan pendapatnya oleh karena beberapa hal.
- Ijma’ sukuti ini dapat dijadikan sebagai hujjah oleh karena diamnya seorang ulama lebih kuat menunjukkan arti setuju dibandingkan dengan tidak setuju

F. Kemungkinan Terjadinya Ijma’

Terdapat beberapa pendapat menganehai kemungkinan terjadinya Ijma’ pada masa pasca periode sahabat sampai sekarang. Sebagian ulama mengatakan tidak mungkin terjadi lagi, melihat para ulama sudah tinggal berjauhan dan sangat sulit untuk mengumpulkan mereka dalam satu tempat dan waktu, selain juga mengingat begitu banyanya jumlah mereka.
Namun demikan juga ada pendapat yang mengatakan bahwa ijma’ sangat mungkin terjadi, dengan syarat aktivitas ini ditangani langsung oleh Negara. Sebagaimana yang dikemukakan oleh ulama-ulama kontemporer seperti Abdul wahab kholaf, Qordlowi dll.

4. Qiyas (Analogi)

A. Pengertian Qiyas

Qiyas (analogi) merupakan dasar hukum islam yang disepakati, ia menduduki peringkat ke 4 setelah al-Quran, Hadis dan Ijma’.
Secara bahasa qiyas berarti “mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk diketahui persamaan antara keduanya”. Sedangkan Qiyas menurut istilah adalah: “Menyamakan sesuatu yang tidak ada hukumnya dengan sesuatu yang telah ada ketentuan hukumnya karena ada persamaan ‘illat (penyebab) antara keduanya”.
Qiyas dilakukan oleh seorang mujtahid dengan meneliti alasan logis dari rumusan hukum pada suatu masalah yang telah ditetapkan oleh al-Quran dan Hadis, dan setelah itu dicari ‘illat / penyebabnya, yang kemudian dibandingkan dengan masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya. Bila ada kesamaan “illat / sebab” maka hukumnya sama. Ulama pertama kali yang merumuskan Qiyas adalah Imam Syafi’i (Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i w. 820 M).

B. Rukun Qiyas

Qiyas dianggap sah dan benar apabila telah memenuhi rukun-rukunnya. Seluruh ulama sepakat bahwa rukun Qiyas ada 4:
1. Al-Ashlu (pokok masalah yang ada dalam Nash dan sebagai tempat menganalogikan sesuatu), misal: khamr.
2. Hukm al-Ashli (keputusan hukum Asal), misal: Haram
3. Al-Far’u (cabang masalah yang belum ada ketentuan hukumnya dalam nash), misal: ganja.
4. Illat (faktor penyebab). Misal: memabukkan.

Misal: Firman Allah dalam Surat al-Maidah 90:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”

Firman Allah dalam Surat al-Nahl 67
وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالْأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan”

Keterangan:
1. Al-Ashlu (Asal masalah) dari ayat diatas adalah khamr. Khamr adalah minuman keras yang dibuat dari perasan kurma atau buah-buahan.
2. Hukm al-Ashli (keputusan hukum Asal) dari ayat di atas adalah “Jauhilah”, yang berarti perintah wajib untuk menjauhi dan Haram dikerjakan.
3. al-‘Illat (faktor penyebab / motivasi) keharamannya adalah Memabukkan.
4. Al-Far’u (cabang masalah yang dianalogikan) misalnya; kokoin. Karena kokoin memabukkan maka hukum kokoin sama dengan hukum khomr.

Proses Qiyas (Analogi) Dengan Sebab “Memabukkan”

Syarat Al-Ashlu (asal):
1. Hukum asal tidak boleh termansukh (terhapus)
2. Hukum asal harus berupa hukum syara’ (terdapat dalam nash, dan tidak boleh berupa hukum akal.
3. Hukum asal bukan merupakan hukum perkecualian. Misal, sah puasanya orang yang lupa makan.

Syarat Hukmul Ashli (hukum asal)
1. Hukum asal harus berupa hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan mukallaf
2. Hukum asal dapat ditelusuri ‘illatnya (faktor penyebab / motivasinya).
3. Hukum asal bukan merupakan hukum perkecualian, seperti diperbolehkan nikah lebih dari 4 orang bagi Nabi.

Syarat al-Far’u (cabang masalah)
1. Cabang tidak mempunyai ketentuan hukum sendiri di dalam nash
2. Illat pada cabang harus sama dengan Illat yang terdapat dalam asal
3. hukum cabang harus sama dengan hukum asal

Syarat ‘Illat (faktor penyebab/motivasi hukum)
Penentuan ‘Illat (faktor penyebab) membutuhkan kejelian, sehingga keputusan yang dihasilkan tidak mengakibatkan kesalahan. Suatu misal, dalam menentukan penyebab minuman keras adalah barang cair, maka kesimpulannya semua barang cair adalah tidaklah boleh dikonsumsi. Secara rasional jika semua benda cair tidak boleh dikonsumsi, maka hal itu terjadi kesalahan dalam penentuan penyebabnya. Karena benda cair tidak hanya minuman keras.

Untuk sahnya suatu illat sebagai landasan qiyas (analogi), para ulama telah memberikan beberapa persyaratan. Syarat Illat, antara lain:

1. Illat harus sesuai dengan tujuan pembentukan suatu hukum. Kuat dugaan bahwa hukum tersebut ditetapkan oleh karena alasan adanya illat tersebut bukan karena faktor lain. Contoh: sifat memabukkan, adalah relevan sebagai illat diharamkannya khamer. Sebab dengan mengharamkannya berarti menolak kemadlorotan dari kehidupan manusia. Berbeda dengan sifat cair, adalah tidak relevan. Sebab tidak semua benda cair mendatangkan madlorot, bahkan banyak benda cair yang memberi manfaat, seperti air.

2. Illat harus bersifat jelas, tidak boleh samara atau sembunyi-sembunyi, karena tidak dapat terdeteksi keberadaannya. Contoh: Ijab dan qabul adalah relevan sebagai illat sahnya jual beli. Sebab ijab qabul dapat diketahui dan tanda bahwa seseorang tersebut ridha. Berbeda dengan sifat ridha, adalah tidak relevan dijadikan sebagai illat sahnya jual beli. Sebab ridha adalah tersembunyi dan samara.
3. Illat harus berupa sesuatu yang bias dipastikan bentuk, jarak dan timbangannya. Contoh: tindakan pembunuhan adalah sifat yang dapat dipastikan menghilangkan nyawa seseorang. Oleh sebab itu tindakan pembunuhan dapat dijadikan sebagai illat bagi terhalangnya mendapat harta warisan.

Cara Mengetahui ‘Illat

Menurut penelitian ulama, ada beberapa cara yang dapat ditempuh guna mengetahui ‘illat, antara lain:
1. Melalui dalil-dalil al-Quran dan Hadis, baik secara tegas ataupun tidak tegas.
Contoh ‘illat yang tegas terdapat dalam Ayat 7 Surat al-Hasyr: yang artinya: “ Apa saja harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.

Ayat tersebut secara tegas menyebutkan bahwa illat (alasan) mengapa harta rampasan itu harus dibagikan antara kelompok-kelompok tersebut adalah agar harta kekayaan jangan hanya beredar di tangan orang-orang kaya saja. Terhadap hukum ini kemudian dianalogikan bahwa setiap pembagian harta kekayaan haruslah merata dan tidak boleh harta hanya diberikan kepada orang-orang kaya saja.

Contoh Illat yang tegas juga terdapat dalam Hadis Nabi, yang artinya: “Dari Aisyah berkata, orang-orang arab badui berduyun-duyun untuk meminta daging kurban, maka Rasulullah Saw. Bersabda: “makan dan simpanlah jangan sampai lebih dari tiga hari”. Setelah mendengar anjuran itu mereka berkata kepada beliau: “Ya Rasulallah, orang-orang umumnya memanfaatkan untuk membuat minyak dan untuk menjamu para tukang siram, mengapa mesti engkau larang untuk menyimpan daging qurban?” Maka beliau bersabda: “aku larang karena dahulu masih banyak rombongan badui yang mengharap pemberian daging qurban tersebut, tapi sekarang makan simpan (sampai kapan saja) dan sedekahkanlah” (HR. Nasai)

Hadis di atas menjelaskan bahwa illat dari adanya larangan menyimpan daging kurban adalah karena banyak orang-orang Islam dari pedusunan datang membutuhkannya. Namun beberapa saat setelah illatnya tidak ada yakni orang-orang dusun sudah tidak lagi dating membutuhkannya, maka nabi memperbolehkan menyimpannya kembali.

Contoh Illat yang tidak tegas terdapat dalam Firman Allah di dalam surat al-Baqarah Ayat 222, yang artinya: “Dan janganlah kamu mendekati mereka (istri-istrimu), sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”

Redaksi ayat tersebut mengandung pengertian bahwa yang menjadi Illat bagi haramnya mendekati istri adalah karena keadaan haidlnya, dan illat halal mendekatinya adalah keadaanya yang telah suci. Kesimpulan ini bukan tersurat dalam ayat diatas, namun tersirat di dalamnya.

2. Melalui Ijma’.

Contoh: Kesepakatan ulama bahwa keadaan kecil seseorang menjadi ‘illat bagi perlu ada pembimbing untuk mengendalikan hartanya, sampai ia dewasa. Dianalogikan kepadanya hak mewalikan anak prempuan kecil dalam masalah pernikahan bagi madzhab hanafiah.

3. Melalui Ijtihad

Hasilnya dinamakan ‘illat al-mustanbathah (‘illat yang dihasilkan dengan jalan ijtihad). Metodenya adalah al-Sibru wa al-Taqsim, yakni al-sibru yang berarti menyeleksi dan al-taqsim yang berarti mengumpulkan. Contoh: khomer diharamkan oleh Al-Quran. Kemudian seorang mujtahid mencari ‘illat (motovasinya), mengapa khomer diharamkan?. Merek kemudian mengumpulkan (taqsim) berbagai sifat yang terdapat di dalamnya, seperti keadaan cai, keadaannya terbuat dari anggur, keadaannya berwarna merah dan keadaannya memabukkan. Setelah beberapa sifat tersebut dikumpulkan lalu di adakan analisis, pengujian dan penyeleksian, mana yang paling relevan untuk dijadikan sebagai ‘illat. Sehingga ditemukan bahwa yang paling relevan adalah memabukkan. Sebab hal itu sesuai dengan tujuan pembentukan hukum islam yakni jalbul masholih dan dar’ul mafasid.


C. Macam-Macam Qiyas
Ditinjau dari segi perbandingan antara ‘illat yang terdapat pada asal dan pada cabang, qiyas dibagi menjadi 3 macam:

1. Qiyas Aula; yakni qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada cabang lebih utama dan lebih kuat dari pada ‘illat yang terdapat dalam asal. Contoh: mengatakan “ah” kepada orag tua hukumnya adalah haram (hukum asal). Illatnya adalah menyakiti. Kemudian dianalogikan dengan memukul orang tua (hukum cabang) juga haram. Karena juga menyakiti. Maka memukul orang tua (cabang) ‘illatnya lebih kuat dari pada illat yang terdapat dalam asal yakni mengatakan “ah”.

2. Qiyas Musawi; yakni qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada hukum asal bobotnya sama dengan illat yang terdapat pada hukum cabang. Contoh: memakan harta anak yatim hukumnya adalah haram. ‘illatnya adalah melenyapkan harta anak yatim. Kemudian di analogikan dengan membakar harta anak yatim adalah haram juga. Sebab sama-sama melenyenyapkan harta anak yatim. Bobot kedua illat ini adalah sama.

3. Qiyas Adna; yakni qiyas di mana bobot ‘illat yang terdapat dalam hukum asal lebih utama dan lebih kuat dari pada bobot ‘illat yang terdapat dalam hukum cabang. Contoh: sifat memabukkan yang terdapat dalam khomer jauh lebih kuat dan utama dari pada sifat memabukkan dalam bir. Meskipun hukum meminum bir dapat dianalogikan dengan hukum meminum khomer.

Adapun qiyas bila ditinjau dari segi jelas dan tidak jelasnya ‘illat yang dijadikan sebagai landasan hukum, maka qiyas terbagi menjadi 2 macam:

1. Qiyas Jali; qiyas yang didasarkan atas ‘illat yang ditegaskan dalam nash ataupun tidak ditegaskan, namun ditegaskan berdasarkan penelitian dan bobotnya kuat. Qiyas ini mencakup qiyas awla dan qiyas musawi

2. Qiyas Khofi; qiyas yang didasarkan atas ‘illat yang ditarik dari hukum asal. Contoh, menganalogikan pembunuhan dengan memakai benda tumpul kepada pembunuhan dengan memakai benda tajam. Illatnya adalah sama-sama ada faktor kesengajaan.

sumber: http://santri-ppmu.blogspot.com
Maqasid al-Syari’ah Dalam Berijtihad

Maqasid al-Syari’ah Dalam Berijtihad

No Comments
A. Pendahuluan 

Alhamdulillah berkat taufiq serta hidayah Allah SWT. Kita bisa meneruskan diskusi ushul fiqh pada hari ini. Dan pemakalah bisa memaparkan hasil makalahnya dengan serba kekurangan, mudah-mudahan semua ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Sholawat serta salam kami haturkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW. Berkat Beliau, kita bisa mengetahui dan membedakan antara yang halal dan yang haram.
Dalam makalah yang sangat sederhana ini, penulis menjelaskan beberapa poin yang tentunya berkaitan dengan pembahasan kita.


1. Definisi Ijtihad.
2. Definisi Maqasid Al-Syari’ah
3. Kedudukan Maqasid Menurut Perspektif Syara`.
4. Pembahasan Yang Penting Dalam Dalam Kaitan Metode Maqasid Al-Syriah.

B. Pembahasan
Metode maqasid al-syariah dalam berijtihad

Sebelum makalah membahas panjang lebar dan rinci tentang maqasid al-syariah pemakalah akan mengutarakan definisi ijtihat itu terlebih dahulu baik dari etimologi atau termenologi.
 
Ijtihad menurut bahasa barasal dari kata: جهد-يجهد-جهدا yang berarti”berusaha dengan sungguh-sungguh”. Dari pengertian bahasa ini selanjutnya para ulama’ merumuskan pengertian menurut istilah,mereka berbeda pendapat dalam merumuskan pengertian istilah tersebut,bagi ulama` yang mendekatinya melalui pemikiran holistik,ijtihad di artikan dengan “segala upaya yang di curahkan mujtahid dalam berbagai bidang ilmu.”.

Ijtihad merupakan suatu penggalihan hukum secara optimal,oleh ulama’ ushil fiqh dapat di tempuh dengan dua metode yaitu melalui kaidah-kaidah kebahasaan(lafdziyah) dan maqosid al-syariah,metode yang pertama mereka mujtahid menfokuskan penelitian teks-teks al-quran dan as-sunnah secara langsung,seperti: zhahir, nash, mufassar DLL.sedangkan metode yang ke dua yaitu maqosid al-syriah mereka mujtahid menfokuskan penelitian teks-teks al-quran dan as-sunnah secara tidak langsung,dan memperhatikan tujuan yang hendak di capai syari’ dalam menetapkan suatu hukum dengan metode.seperti:qiyas, istihsan,mashlahah mursalah,dll.

Metode maqosid al-syariah salah satu syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid sebelum melakukan ijtihad.pengetahuan tentang maqosid al-syariah(tujuan syarat islam)sangat di perlukan oleh mujtahid,hal ini di sebabkan bahwa semua keputusan hukum laras dengan tujuan syari’at islam yang secara garis besar adalah untuk memberi rahmat alam semesta,khususnya untuk kemaslahatan manusia.

Definisi maqasid

Maqasid Merupakan Matlamat Yang Ingin Dicapai Dalam Melakukan Sesuatu.Dalam Konteks Ini Maqasid Yang Dimaksudkan Ialah Maqasid Atau Objektif Yang Diletakkan Oleh Syara' Dalam Mensyariatkan Hukum.Antara Istilah Popular Yang Digunakan Ialah Maqasid Syariah, Maqasid Al-Syari'(Allah) Dan Maqasid Syara' Atau Di Dalam Bahasa Arabnya Maqasid Al-Syariah, Maqasid Al-Syari' Dan Al-Maqasid Al- Syar'iyyah.

Kedudukan maqasid menurut perspektif syara'. 

Sebagaimana Yang Telah Dimaklumkan ,Sesungguhnya Dalil-Dalil Syariat Islam Menegaskan Bahawa Setiap Hukum-Hukumnya Mempunyai Maqasid Dan Maksud Yang Tertentu. Sehubungan Dengan Itu, Sudah Menjadi Makluman Umum Bahwa Sesungguhnya Tujuan Pensyariatan Itu Ialah Untuk Kemaslahatan Manusia Di Dunia Dan Di Akhirat. 

Antara dalil-dalil yang mengukuhkan kedudukan maqasid sebagai hujah yang mengikat ialah: 

a) Al-Quran al-Karim : 

Al-Quran al-Karim yang merupakan sumber primer maqasid syara' yang paling utama. Al-Quran juga telah menentukan banyak maqasid dan hikmah sesuatu hukum disyariatkan yang seterusnya membentuk teori maqasid itu sendiri.Contohnya: Maqasid Larangan Bersetubuh Dengan Isteri Ketika Haid Ialah Untuk Menghindari Penyakit, dan maqasid Perkahwinan Ialah Memelihara Diri , Dapat Hidup Dalam Kasih Sayang Dan Keharmonian.

B) Al-Sunnah

Al-Sunnah Sebagai Sumber Kedua Terpenting Selepas Al-Quran Mempunyai Peranan Penting Dalam Menguatkan Lagi Apa Yang Dibawa Oleh Al-Quran, mentafsirkan Al- Quran, Menjelaskan Dan Menghuraikannya Agar Lebih Jelas Dan Mudah Dipraktikkan. Contohnya: Hadith Rasulullah S.A.W. yang Bermaksud : " Sesungguhnya Agama Itu Mudah" Dalam Hadith Ini, Dengan Jelas Maqasidnya Menunjukkan Agar Memudahkan Ummat, Tidak Membebankan Dan Senang Untuk Diamalkan Apa-Apa Yang Di Perintahkan Oleh Syara’.

Dalam Hadith Yang Lain Pula, Rasulullah S.A.W Bersabda : "Jika Tidak Kerana Menyusahkan Umatku Nescaya Sudah Aku Suruh Mereka Bersiwak Untuk Setiap Kali Solat" Dari Hadith Ini Jelas Menunjukkan Syariat Islam Bukan Bertujuan Untuk Menyusahkan Umat, Malah Menyenangkan Dan Memastikan Kemaslahatan.

Pembahasan yang penting dalam dalam kaitan metode maqasid al-syriah adalah:

• Qiyas. Meliputi:pengertian, kehujjahan, rukun,dan macam-macamnya.
• Istihsan.meliputi:pengertian, pembagian, dan kehujjahannya.
• Mashlahah mursalah.meliputi: pengertian,pembagian, syarat,dan kehujjahannya.
• `Urf.meliputi:pengertian,macam-macam, kehujjahan,dan syarat-syaratnya.
• Istihsab,meliputi:pengertian ,macam-macam, kehujjahan,dan syarat-syaratnya.DLL.

C. Kesimpulan

Maqasid Syari'ah merupakan Salah Satu Metode Dalam Berijtihad, Yang Para Mujtahidnya Menfokuskan Dalam Penelitian Teks-Teks Al-Quran Dan As-Sunnah Secara Tidak Langsung,Seperti:Qiyas, Istihsan,Mashlahah Mursalah,`Urf, Istihsan.Dll

D. Daftar pustaka

Saiban, Kasuwi. Metode Ijtihad Ibnu Rusyd.Malang:Kutub Minar.2005.
Wahbah Al-Zuhaili,Ushul Al Fiqh Al-Islami.Damaskus:Dar Al-Fikr.2007.
Syafi` Rahmat.Imu Ushu Fiqh.Bandung.Cv.Pustaka Setia.1999.
MAKALAH IJMA'

MAKALAH IJMA'

No Comments
BAB I
Pendahuluan

Kata ijma' sudah tidak asing lagi di telinga kita, sudah banyak kita temukan dalam kitab-kitab fiqih khususnya, tentang penggunaan kata ijma'. Sebagaimana di ungkapkan oleh ustadz Abu Ishaq “kita ini mengetahui bahwa ijma' itu lebih dari 20 ribu masalah”, namun apakah pernyataan tersebut bisa di benarkan? Apakah yang di maksud ijma' oleh beliau adalah benar-benar ijma' yang merupakan alat ketiga untuk mencetuskan hukum syara'? padahal dalam kajian ilmu ushul fiqh kita ketahui bahwa ijma' merupakan suatu dalil yang qath'i yang terjaga dari kesalahan.
Oleh karena itu, fenomena di atas sangat membutuhkan pembahasan tentang ijma', supaya tidak terjadi salah faham tentang ijma' yang di maksud oleh para ulama ushul fiqh. Karena terkadang yang di maksud ijma' dalam kitab fiqh itu berbeda-beda, ada yang bermaksud kesepakatan sebagian besar ulama, adapula kesepakatan imam yang empat dan adapula kesepakatan ulama dalam suatu madzhab.

Dalam makalah yang sangat sederhana ini, penulis ingin menjelaskan beberapa poin yang tentunya berkaitan dengan ijma', yaitu:
• pengertian ijma'
• syarat-syarat ijma'
• macam-macam ijma'
• kehujjahan ijma'

semoga apa yang kami tulis ini dapat bermanfaat bagi teman-teman, atau bagi siapa saja yang kebetulan membaca tulisan dalam makalah ini, penulis hanyalah manusia yang lemah yang sangat jauh dari kesempurnaan, karena itu penulis sangat berterima kasih apabila ada kritik, saran, atau apa saja yang berkaitan dengan makalah ini lebih-lebih kami mohon bimbingan dari dosen pembimbing mata kuliah ini, yaitu beliau Prof. Dr. Kasuwi Saiban M.Ag.

BAB II
Pembahasan

A. Pengertian Ijma’

Lafal Ijma’ di musytaq dari lafal أجمع يجمع إجماعا dimana secara bahasa, lafal Ijma’ ini mempunyai dua arti yaitu mufakat dan berniat . Sedangkan menurut istilah terdapat beberapa pengertian diantanya pendapat imam Ghazali:
اتفاق أمة محمد صلى الله عليه وسلم خاصة على أمر من الأمور الدينية
Sedangkan menurut Jumhur Ulama :
اتفاق المجتهدين من أمة محمد صلعم بعد وفاته فى عصر من العصور على حكم شرعي

Kalau di perhatikan dari definisi di atas terdapat perbedaan yang cukup signifikan, yaitu Imam Ghozali tidak menggunakan kata mujtahid, ini berarti, menurut beliau orang awam juga bisa melakukan ijtihad, perbedaan yang kedua adalah Imam Ghozali tidak mensyaratkan ijma’ harus dilakukan sesudah nabi wafat sedangkan jumhur ulama mensyaratkan keduanya.

Untuk menanggapi hal tersebut Syaikh Wahbah Az-Zuhaili berpendapat bahwa pendapat jumhurul ulama lebih kuat karena orang awam bukanlah orang yang ahli dalam mencari kebenaran untuk menentukan hukum suatu masalah dan juga karena beliau tidak pernah melihat adanya ijma’ pada masa Nabi masih hidup karena Nabi lah yang yang mengeluarkan syari’at itu sendiri pada masa itu .

B. Syarat-Syarat Ijma’

Dari definisi ijma' yang di kemukakan oleh jumhur ulama, dapat di ketahui bahwa Syarat-Syarat ijma’ ada lima , yaitu: 

1. Yang bersepakat adalah para mujtahid.
2. Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid.
3. Para mujtahid harus umat Muhammad SAW.
4. Di lakukah setelah wafatnya Nabi.
5. kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari'at.

Di samping syarat-syarat di atas, adapula syarat lain yang tidak di sepakati oleh para ulama ushul, yaitu: 

1. Mujtahid tersebut harus dari kalangan shahabat, syarat ini di kemukakan oleh Imam al Dzahiri, Ibnu hazm, Ibn Hibban, dan Imam Hambali.
2. Mujtahid tersebut harus dari kerabat Nabi, syarat ini di kemukakan oleh golongan syi’ah zaidiyah dan imamiyah
3. Orang yang melakukan ijma’ harus orang madinah, syarat ini di kemukakan oleh imam Malik
4. Meninggalnya semua orang yang melakukan ijma’ sesudah mereka mufakat atas suatu hukum, syarat ini di kemukakan oleh imam Ahmad, Abu al Hasan al Asy’ari, Abu Bakr ibn Faurak.
5. Boleh melakukan ijma’ terhadap salah satu dari dua pendapat apabila ulama berbeda pendapat dalam suatu masalah dengan mengeluarkan dua pendapat, ini dikemukakan oleh sebagian syafi’iyah dan ahli hadits.

C. Macam-Macam Ijma’

Ijma’ bila di tinjau dari segi pembuatannya terbagi menjadi dua yaitu :

1. Ijma’ Shorih atau Nuthqi
Ijma’ shorih adalah kesepakatan pendapat para mujtahid dalam hukum suatu masalah yang tertentu dengan ucapan atau perbuatan mereka seperti berkumpulnya para ulama dalam suatu majlis kemudian salah seorang dari mereka mengemukakan pendapatnya yang kemudian disetujui oleh yang lain.

2. Ijma’ Sukuti
Ijma’ sukuti adalah perkataan sebagian mujtahid dalam suatu masalah sedangkan mujtahid yang lain diam dan tidak mengingkarinya. Dimana dalam ijma’ sukuti terdapat beberapa pendapat:

1) Pendapat Imam Syafi’i, Isa bin Aban, Al Baqilani, dan Malikiyah, ijma’ sukuti ini bukan ijma’ dan bukan pula hujjah.
2) Pendapat mayoritas Hanafiyah dan imam Ahmad, ijma’ sukuti ini merupakan ijma’ dan hujjah yang qath’i
3) Pendapat Abu Ali Al Juba’I, ijma’ sukuti ini merupakan ijma’ sesudah habisnya masa para mujtahidnya.
4) Pendapat Abu Hasyim bin Abu Ali, ijma’ sukuti ini bukan ijma’ namun suatu hujjah.
5) Pendapat Ibnu Abi hurairah, di tafsil, jikalau yang berkata itu seorang hakim maka bukan ijma’ dan hujjah, namun jika bukan hakim, maka ijma’ sukuti ini merupakan ijma’ dan hujjah.

D. Kehujjahan Ijma’
Para ulama berbeda pendapat mengenai kehujjahan ijma' ini, ada yang mengatakan bahwa ijma' adalah hujjah yang qath'i yang wajib di amalkan, ini merupkan pendapat jumhur ulama namun ada pula yang mengatakan bahwa ijma' bukanlah hujjah, pendapat ini di kemukakan oleh imam Nidham. Syi'ah berpendapat bahwa ijma' adalah hujjah namun bukan karna ijma'nya tapi karena ijma' itu mencakup terhadap ucapan imam yang ma'sum. Sedangkan Khawarij berpendapat ijma' shahabat merupakan ijma' sebelum adanya firqah-firqah sedangkan sesudah adanya firqah maka yang menjadi hujjah adalah ijma' suatu firqah itu sendiri.

Jumhur ulama mempunyai beberapa dalil yang di ambil dari al Qur’an dan Hadist atas kehujjahan ijma’. Adapun dalam al Qur’an terdapat lima dalil yaitu:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ) البقرة :143)

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ ) آل عمران110  )

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ) آل عمران: 103)

وَمِمَّنْ خَلَقْنَا أُمَّةٌ يَهْدُونَ بِالْحَقِّ وَبِهِ يَعْدِلُونَ ) الأعراف: 181)

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ) الشورى: 10)

Kata wasathan dalam ayat tersebut berarti baik, jadi Allah memberitakan tentang kebaikan umat ini, oleh karena itu menurut jumhur ulama, jika umat ini baik maka perkataan mereka menjadi hujjah dengan sendirinya, jadi indikasinya, jika mereka menyepakati sesuatu, maka hal itu menjadi benar. Namun pada ayat-ayat tersebut masih terdapat keraguan untuk di jadikan dalil atas kehujjahan ijma’ .

Menurut pendapat Imam Ghozali, dalil yang paling kuat yang di ambil dari al Qur’an adalah firman Allah surat an Nisa’ ayat 115 sebagaimana dalil yang di jadikan pijakan oleh Imam Syafi’i sebagaimana disebutkan dalam kitab al Risalahnya, yaitu:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا) النساء:115)

Menurut beliau dalam ayat tersebut Allah mengemukakan bahwa mengikuti jalan selain jalan orang yang beriman maka sama halnya dengan menyakiti Allah dan Rosulnya karena orang yang menyakiti Allah dan Rosul atau mengikuti jalan selain jalan orang mukmin maka orang itu akan masuk ke neraka .

Sedangkan dalil yang diambil dari Hadits dimana dalil ini adalah dalil yang paling kuat sebagaimana dikemukakan oleh Imam Ghozali adalah beberapa hadits Rosul yang masyhur di kalangan para shahabat, sehingga banyaknya redaksi yang berbeda yang menunjukkan atas terjaganya umat ini dari kesalahan, walaupun haditsnya belum sampai pada tingkatan mutawatir, namun pemahaman tentang terjaganya umat ini dari kesalahan itu mutawatir karena pemahaman tersebut terdapat dalam hadits yang banyak, dan inilah yang di sebut mutawatir ma’nawi. Adapun haditsnya adalah:

(لا تجتمع أمتي على ضلالة (رواه الترمذى

وعن أبي بصرة صاحب رسول الله صلى الله عليه وسلم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال
"سألت ربي عز وجل أربعاً فأعطاني ثلاثاً ومنعني واحدة،سالت الله عز وجل أن لا يجمع أمتي على ضلالة أعطانيها" 

(ومن فارق الجماعة مات ميتة جاهلية (رواه البخارى

Di samping hadist di atas masih banyak lagi hadist yang sudah jelas di kalangan shahabat dan tabi’in sampai pada zaman sekarang dan tidak ada seorangpun yang menolak hadist-hadist di atas baik salafiyyah maupun kholafiyah, Oleh karena itu hadist-hadits tersebut bisa diterima keabsahannya.

Adapun dalil-dalil yang di lontarkan oleh golongan yang tidak menyetujui adanya ijma' sebagai hujjah adalah:

1. al Qur'an surat al Nisa' ayat 59

karena dalam ayat tersebut Allah memerintahkan untuk mengembalikan perkara yang di pertentangkan kepada Allah dan Rosul-Nya dan Allah tidak memerintahkan untuk mengembalikannya kepada umat.

2. Hadist Mu'adz bin Jabal di mana dalam hadist tersebut tidak menyebutkan tentang ijma'

BAB III
Simpulan

Dari penjelasan di atas dapat di simpulkan, bahwa ijma' adalah kesepakatan semua mujtahid dari umat Muhammad SAW. Dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara'.

Sedangkan macam-macamnya ada dua, yaitu:
1. Ijma' Shorih
2. Ijma' Sukuti

Tentang masalah kehujjahan ijma' ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan merupakan hujjah dan adapula yang tidak.

Daftar Pustaka

al-Hasan, Abi, al Iqna’ fi Masaili al Ijma’, (al-Qahirah:al-Faruq al-Khoditsiyah. 2004).
al-Ghozali, Muhammad, al Mustashfa min Ilmi al Ushul, (Beirut:Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi. 1997).
Al-Zuhaili, Wahbah, Ushul al Fiqh al Islami,(Damaskus:Dar al-Fikr, 2007)
Rachmat, Syafe'i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung:CV Pustaka Setia, 1999).

Stylo

Superb